Pada Senin (20/1), Donald Trump mengumumkan penarikan Amerika Serikat (AS) dari perjanjian iklim Paris atau Paris Agreement setelah resmi dilantik sebagai presiden. Trump menegaskan bahwa AS akan meninggalkan pakta tersebut karena dianggap tidak adil dan sepihak. Tindakan ini membuat AS bergabung dengan Iran, Libya, dan Yaman sebagai negara yang tidak terlibat dalam kesepakatan itu.
Paris Agreement bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri guna mengurangi dampak krisis iklim. Namun, pada tahun 2024, suhu global telah melewati batas 1,5 derajat Celsius, menurut Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa. Hal ini dipicu oleh perubahan iklim akibat pembakaran bahan bakar fosil dalam skala besar sejak era pra-industri.
Keputusan Trump untuk menarik AS dari Paris Agreement mencerminkan pandangannya yang skeptis terhadap pemanasan global, yang ia anggap sebagai “tipuan” belaka. Posisi Trump ini berbeda dengan Joe Biden yang ingin AS memimpin upaya global dalam mengatasi krisis iklim dengan mendorong transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Tindakan Trump ini mendapat kekhawatiran dari para pakar iklim yang menilai bahwa langkah tersebut dapat mengancam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan Trump akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang sulit dikendalikan. Dengan terpilihnya Trump sebagai presiden AS, upaya menjaga suhu global agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius menjadi semakin sulit.
Para aktivis dan politisi di Eropa turut prihatin atas keputusan Trump karena berpotensi menghambat upaya pencegahan pemanasan global yang ekstrem. Mereka menyebut terpilihnya Trump sebagai hari yang suram bagi AS dan dunia. Inilah gambaran tentang tindakan Trump dalam menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris yang masih menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar iklim dan aktivis lingkungan.