Sebuah tanah seluas dua hektare di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu tidak hanya sekadar aset bagi keluarga Ramali Siregar, tetapi juga merupakan bagian dari sejarah mereka. Namun, ketika lahan warisan ini diduga dialihkan menjadi milik empat perusahaan dan lima individu dengan sertifikat terbitan 1995, kecurigaan pun muncul. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang memenangkan para tergugat pada bulan Juni lalu semakin memperkuat kecurigaan akan adanya mafia tanah dan mafia peradilan di daerah tersebut.
Untuk menegakkan keadilan, ibu Jurtini Siregar dan LSM KCBI mendatangi DKI Jakarta untuk menggugah pemerintah pusat, aparat penegak hukum, dan Komisi Yudisial. Mereka menginginkan kasus perampasan tanah dan dugaan rekayasa bukti ini diusut hingga ke akarnya. LSM KCBI menilai vonis PN Rantau Prapat sebagai bentuk pelanggaran terhadap logika hukum, di mana bukti-bukti yang jelas diabaikan.
Menghadapi situasi ini, langkah-langkah lanjut telah dipersiapkan, seperti banding ke Pengadilan Tinggi Medan, pelaporan ke KPK dan Komisi Yudisial, serta permohonan perlindungan saksi. Selain itu, petisi publik dan koalisi sipil juga dilakukan untuk mendukung upaya membersihkan praktik mafia agraria. Seruan pun dilayangkan kepada negara, termasuk Kementerian ATR/BPN, Mahkamah Agung, Kapolri, dan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti masalah ini.
Kisah ibu Jurtini hanyalah satu dari ribuan korban perampasan tanah di Indonesia. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang dinafikan. Hal ini menjadi tantangan bagi negara dalam melindungi hak-hak warganya, terutama dalam kasus-kasus seperti ini.