Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa pada tahun 2024, suhu global mengalami anomali sebesar 1,55 derajat Celcius, melebihi batas yang ditetapkan dalam Paris Agreement, yakni 1,5 derajat Celcius. Dalam webinar bertajuk Refleksi Banjir Jabodetabek: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem, Kepala BMKG, Dwikorita, menjelaskan bahwa kesepakatan Paris Agreement mencapai perbedaan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius dari masa pra-industri hingga akhir abad ke-21. Negara-negara penandatanganan kesepakatan itu bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, agar dapat menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.
Dikatakan juga oleh Dwikorita bahwa sejak tahun 1900 hingga 1980, peningkatan suhu melandai namun mulai meroket sejak 1980. Hal ini menandai dekade terakhir sebagai dekade terpanas dalam sejarah. Pemanasan global yang cepat ini terjadi seiring dengan fase El Nino pada tahun 2023 dan transisi menuju La Nina pada tahun 2024, yang berpotensi menyebabkan risiko banjir dan kekeringan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Peningkatan suhu suatu daerah juga berdampak langsung pada peningkatan curah hujan ekstrem. Dwikorita menjelaskan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan intensitas, frekuensi, dan durasi hujan ekstrem. Data menunjukkan bahwa hal ini korelatif dengan konsentrasi gas rumah kaca yang semakin meningkat. Akibatnya, siklus hidrologi menjadi lebih cepat dan periode cuaca ekstrem basah akan semakin basah, sementara periode cuaca ekstrem kering akan semakin kering. Semua informasi tersebut menunjukkan bahwa perubahan iklim memperburuk potensi banjir dan kekeringan, jika lingkungan tidak dikelola dengan baik.