berita politik tentang prabowo subianto humanis, tegas, berani
Berita  

Ancaman Eksploitasi Gumuk di Jember Menurut Aktivis Lingkungan

Ancaman Eksploitasi Gumuk di Jember Menurut Aktivis Lingkungan

Gunung Sadeng, salah satu gumuk di Jember yang sampai hari ini ditambang, Kamis (24/10/2024). (Foto: Fathur Rozi/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, JEMBER – Eksploitasi gumuk (bukit pasir vulkanik) di Jember kini menjadi isu krusial dengan dampak negatif yang mengancam lingkungan. Sumber daya alam ini terus dirusak, meskipun gumuk telah lama berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim mikro di wilayah tersebut.

Wahyu Giri, Aktivis Lingkungan asal Jember, mengatakan, pembongkaran gumuk hingga hari ini terus berjalan. Namun dirinya tidak menyebutkan angka pasti, berapa total gumuk yang telah dirusak.

“Karena kalau hitung-hitungan, jawabannya masih banyak. Dan kesan masih banyak itu tidak dilihat bahwa ini terjadi gradasi, yang jumlahnya terus turun. Jadi pembongkaran gumuk itu jalan terus, bukan masih berapanya,” ujarnya kepada suaraindonesia.co.id, Kamis (24/10/2024).

Menurut keterangannya, pembongkaran tersebut memiliki alasan yang beragam. Tetapi alasan yang paling banyak, adalah pengambilan batu piring yang terdapat dalam gumuk untuk keperluan ekspor.

“Ekspornya itu ke Jepang, disana dibuat sebagai hiasan. Jadi kalau samian ke kalisat, batu piring itu ada yang sudah di model kotak-kotak, untuk diekspor. Tapi apakah Jepang tidak punya? Punya! Tapi dicagarkan,” tambahnya.

Giri menjelaskan, eksploitasi gumuk yang terus berjalan tersebut memiliki dampak yang negatif, salah satunya pada sektor pertanian tembakau. Dirinya membandingkan cara menanam tembakau jaman dahulu dengan hari ini.

“Dulu tembakau dari besuki, konon kalau ke Bremen, Jerman. Sudah pasti lolos. Tapi sekarang, jika ingin mendapatkan kualitas tembakau yang mutunya bagus, perlu memakai waring atau kelambu untuk menaungi tanaman tembakau,” lanjutnya.

Giri menyebut, tembakau tersebut hanya akan dibuat menjadi cerutu, dan daunnya tidak dirajang, tapi lembaran. “Jadi harus lebar, agar bisa dipotong menjadi banyak. harus tipis,” jelasnya.

“Dan warna harus seragam. Dimana itu terpenuhi dengan adanya waring. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang tidak cukup secara ekonomi, maka akan kesulitan,” imbuhnya.

Sehingga atas perusakan gumuk, menurut giri, terdapat ketidakadilan iklim. Dimana seharusnya masyarakat memperoleh secara gratis atas iklim mikro dari adanya gumuk. “Karena dengan adanya gumuk, angin tidak kencang, kan berarti penguapannya tidak terlalu, maka daun tidak menyempit,” terangnya.

Padahal, menurut Giri, gumuk bisa dimanfaatkan secara ekonomi tanpa harus dirusak. Salah satunya sebagai destinasi wisata geologi seperti yang telah dilakukan Yogyakarta. “Atas dasar kesadaran Tebing Breksi yang ada di Sleman Yogyakarta dialih fungsikan dari tambang menjadi objek wisata,” tambahnya.

Selain itu, Giri juga menyinggung Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024-2044. Dimana telah menghilangkan status gumuk sebagai cagar geologi unik yang sebelumnya tercantum dalam RTRW 2015-2035.

“Di RTRW yang baru, status itu menghilang. Tapi masih diteliti kalau ndak salah. Nanti peruntukannya untuk pertanian, perkebunan dan hortikultura. Tapi perlindungannya menjadi lebih rendah, dibanding RTRW yang lama,” pungkasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta: Fathur Rozi (Magang)
Editor: Mahrus Sholih

Exit mobile version