Partai Golkar, yang merupakan salah satu partai senior, terlihat gagal dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan menurut pengamat politik dari Universitas Andalas, Najmuddin Rasul. Najmuddin mengatakan bahwa Partai Golkar, yang masih eksis sebagai partai papan atas, seharusnya lebih mengutamakan kader dari partai sendiri untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
“Sudah lama sekali Golkar tidak mengusung kader sendiri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Padahal ini partai besar dan sudah memiliki pengalaman panjang,” kata Najmuddin kepada Republika.co.id pada Sabtu (21/10/2023).
Pada hari ini, Golkar mencalonkan Gibran Rakabuming, kader PDIP dan putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Sebelumnya, Golkar juga telah memastikan dukungannya untuk Prabowo sebagai calon presiden. Sebagai informasi, Prabowo merupakan Ketua Umum Partai Gerindra.
Najmuddin mengingatkan bahwa terakhir kali kader Golkar maju dalam pemilihan presiden adalah pada Pemilu 2009 saat Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai calon presiden. Saat itu, JK berpasangan dengan Ketua Umum Hanura, Wiranto.
Namun, pada Pemilu 2014, Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie gagal mengusung kader internal Golkar sebagai calon presiden. Mereka justru mendukung Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa.
Pada Pemilu 2019, Golkar memutuskan untuk bergabung dalam koalisi pendukung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Jokowi sendiri merupakan kader PDIP sementara Ma’ruf mewakili ulama dan ormas Nahdlatul Ulama.
Menurut Najmuddin, dalam Pemilu 2024, seharusnya Golkar menonjolkan kader-kadernya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan oleh Golkar. Calon presiden yang digadang-gadang oleh Golkar sebelumnya, yaitu Ketua Umum Airlangga Hartarto, tidak mampu meningkatkan elektabilitasnya untuk bersaing dengan Prabowo, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Begitu juga dengan calon wakil presiden, Golkar tidak memiliki daya tawar dibandingkan dengan kandidat-kandidat lain yang beredar. “Ini adalah kegagalan dalam kaderisasi Golkar. Padahal selama ini kita tahu Golkar adalah partai kader,” ujar Najmuddin.
Najmuddin juga mengingatkan bahwa pada Pemilu 2004, Golkar harus mengadakan konvensi internal partai untuk mencalonkan calon presiden. Hal ini karena terlalu banyak kader potensial yang ingin maju sebagai calon presiden. Peserta konvensi Golkar pada 2004 antara lain Akbar Tanjung, Wiranto, Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Tommy Soeharto.
Menurut Najmuddin, nama-nama yang ikut konvensi Golkar pada 2004 sekarang sudah menjadi figur penting dalam panggung politik nasional selama beberapa dekade terakhir, meskipun mereka sudah terafiliasi dengan partai masing-masing.
“Dulu Golkar begitu kaya dengan kader-kader hebat. Sekarang mereka tidak dapat mengusung calon presiden atau calon wakil presiden,” tambah Najmuddin.