Kasus pembatalan hasil putaran pertama pemilihan presiden Rumania tahun 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (CCR) menjadi cermin yang merefleksikan tantangan besar bagi tata kelola demokrasi global, termasuk Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi informasi, penetrasi dunia maya semakin menjadi instrumen strategis yang dapat digunakan negara asing untuk menggerogoti sendi-sendi demokrasi, di luar sekadar kejahatan digital biasa.
Kejadian di Rumania mengungkap bagaimana instrumen siber bukan sekadar alat kriminalitas, melainkan digunakan secara terencana dan sistematis untuk melemahkan integritas pemilu lewat serangan yang dikenal sebagai operasi hibrida. Fakta dari lembaga intelijen mengonfirmasi bahwa serangan langsung terhadap infrastruktur pemilu serta penyebaran masif disinformasi berhasil mempengaruhi hasil akhir dan merobek tatanan hukum negara tersebut.
Strategi operasi hibrida yang berujung pada pembatalan hasil pemilu Rumania memperlihatkan dua komponen utama:
1. Serangan Siber Besar-Besaran Terhadap Infrastruktur Pemilu
Badan keamanan Rumania mendeteksi lebih dari 85.000 upaya penetrasi siber dalam kurun menjelang dan saat hari pencoblosan. Fokus serangan tersebut adalah sistem TI dan titik vital penyelenggaraan pemilu, bukan hanya untuk mencuri data, melainkan mengacaukan dan memanipulasi hasil suara. Besarnya kebutuhan sumber daya dan tingkat koordinasi mengindikasikan pelaku adalah kelompok dengan dukungan negara asing.
2. Manipulasi Opini Lewat Disinformasi Di Dunia Maya
Bukti tambahan memperlihatkan adanya kampanye agresif dari luar negeri, khususnya yang diduga terkait Rusia, untuk mengarahkan opini publik melalui media sosial seperti TikTok dan Telegram. Upaya ini mendorong figur pro-Moskow, Calin Georgescu, yang meraih kemenangan mengejutkan di tahap awal pemilu. Tidak hanya penyebaran informasi palsu, juga ada pendanaan ilegal terhadap influencer untuk memperluas penyebaran hoaks tersebut.
Mahkamah Konstitusi akhirnya menilai pelanggaran terhadap asas legalitas dan kebenaran dalam proses pemilu tak bisa ditolerir, sehingga seluruh hasil pemilu dibatalkan dan pemungutan suara diulang dari awal sebagai konsekuensi atas sabotase digital beserta manipulasi persepsi publik tersebut.
Situasi di Rumania menjadi alarm bagi Indonesia yang juga memiliki ekosistem demokrasi digital yang belum sepenuhnya kebal. Ancaman terhadap ruang digital Indonesia kini bergerak dari skala penipuan pribadi menuju ancaman strategis yang bisa mengoyak keamanan nasional.
Beberapa resiko terbesar yang mungkin dihadapi Indonesia meliputi:
1. Penurunan Kepercayaan Publik Terhadap Pemilu
Jika sistem KPU atau infrastruktur pendukungnya dijebol peretas, hasil pemilu akan diragukan masyarakat, berpotensi memicu konflik politik berkepanjangan.
2. Fragmentasi Sosial Akibat Disinformasi
Aktor luar bisa menabur konten propaganda serta menyebarkan narasi palsu lewat bot dan fake accounts, sehingga masyarakat makin terpecah belah dan mudah dipolitisasi.
3. Pelemahan Kedaulatan Negara
Setiap intervensi asing pada pemilu, baik berupa peretasan teknis maupun manipulasi narasi, pada dasarnya merampas hak rakyat menentukan masa depan bangsa secara bebas.
Karena itu, Indonesia perlu menanggapi isu ini sebagai ancaman terhadap pertahanan nasional, bukan sekadar pelanggaran hukum siber biasa. Lembaga seperti POLRI, BSSN, Kominfo, dan TNI harus memperkuat koordinasi dan strategi secara nasional. Monitoring ketat, pengembangan teknologi pelacakan aktor siber asing, serta peningkatan literasi digital lewat edukasi masyarakat menjadi kunci penting. Hanya dengan langkah konkret dan kesiapan menyeluruh, Indonesia bisa menjaga demokrasinya tetap utuh di era ancaman siber yang semakin nyata dan berkembang pesat.
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Serangan Hibrida, Disinformasi Digital, Dan Ancaman Terhadap Demokrasi Indonesia
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Ketika Demokrasi Di Indonesia Terancam












