Surabaya – Ironi dalam dunia olahraga terungkap ketika sebagian atlet dielu-elukan dengan bonus dan pujian, sementara sebagian lainnya harus menanggung sendiri biaya perjuangan mereka. Hal ini tercermin dalam pengalaman Kurnia Cahyanto, seorang pelatih dan pegiat panahan di Surabaya. Di Festival Olahraga Rekreasi Nasional (Fornas) VIII 2025 di Nusa Tenggara Barat, timnya yang menyumbang empat dari lima medali emas panahan untuk Jawa Timur harus berangkat dengan biaya mandiri. Dukungan finansial yang minim membuka tabir diskriminasi sistemik dalam struktur keolahragaan nasional. Meskipun prestasi mereka luar biasa, apresiasi dan pengakuan terhadap atlet terasa minim.
Dalam struktur keolahragaan nasional, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk cabang olahraga prestasi dan Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI) untuk olahraga rekreasi bertanggung jawab atas alokasi anggaran dan pengakuan atlet. Kritik pun muncul terhadap adanya paradoks di mana keringat atlet menjadi komoditas untuk mendapatkan dukungan finansial, sementara hak dan pengakuan atlet terabaikan. Respons terhadap hal ini bermacam-macam, namun penting untuk mengakui peran penting setiap atlet dalam dunia olahraga. Tetap memperjuangkan keadilan dan pengakuan atas segala upaya atlet perlu menjadi fokus utama dalam mengembangkan dunia olahraga yang adil dan inklusif.