Beberapa waktu terakhir, kecerdasan buatan (AI) Chatbot DeepSeek telah memicu perhatian dengan kemampuannya yang mengguncang dunia. Hal ini bahkan menyebabkan keuntungan perusahaan Nvidia rugi mencapai US$600 miliar atau sekitar Rp9.731,7 triliun. Platform deep learning asal China ini, DeepSeek, telah menjadi primadona chatbot AI yang paling banyak diunduh di Amerika Serikat melalui Apple Store. Namun, kepopulerannya saat ini dihadang dengan sejumlah tantangan. Beberapa pengguna menemukan bahwa chatbot tersebut menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sensitif yang berhubungan dengan China.
Sebuah eksperimen oleh pengguna mengungkap bahwa DeepSeek tampaknya menyensor jawaban terkait peristiwa Pembantaian di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989. Kejadian tragis ini terjadi saat pemerintah China dengan brutal menghadapi para pengunjuk rasa mahasiswa, menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Hal ini telah menjadi topik tabu di China, di mana pembicaraan tentang peristiwa tersebut ditekan secara luas.
Respon dari DeepSeek terhadap pertanyaan sensitif ini menunjukkan bahwa platform tersebut lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan ketika diminta untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Hal ini berbeda dengan dua chatbot lainnya, ChatGPT dan Meta AI, yang memberikan jawaban yang lebih mendetail.
Berbagai pengamat menganggap perbedaan dalam respons ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kebebasan berbicara dan persepsi publik global. Ini menggarisbawahi peran penting teknologi dalam mengontrol narasi tentang isu-isu global dan sejarah. Dengan semakin berkembangnya kecerdasan buatan, perlu dipertimbangkan implikasi dan dampaknya terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi.