Magang
– 14 Juli 2024 | 20:07 – Dibaca 577 kali
Sekretaris DP3AKB Kabupaten Jember, Poerwahjoedi, saat menjadi pembicara di acara Gesit 2024 di Dira Park Ambulu, Minggu (14/7/2024). (Foto: Istimewa)
SUARA INDONESIA, JEMBER- Permasalahan keterlibatan anak dalam sektor pertanian tembakau di Kabupaten Jember masih menjadi pekerjaan rumah. Pemerintah daerah perlu segera menyelesaikan masalah tersebut dengan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari kelompok masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi hingga media.
Koordinator Daerah Stapa Jember, Eri Andriani mengungkapkan, berdasarkan temuan lembaganya di sejumlah kecamatan di Kabupaten Jember, masih banyak anak yang terlibat dalam pertanian tembakau. Kebanyakan dari mereka bermain sambil membantu orang tua yang sedang bekerja. Mulai dari lahan hingga proses pasca-panen di gudang.
“Temuan kami menunjukkan bahwa mereka bukan bekerja sebagai anak pekerja. Namun terlibat dalam sektor pertanian tembakau. Artinya, sebanyak apapun, lama atau sebentar keterlibatan mereka, anak-anak tetap berisiko,” ungkapnya.
Menurut Eri, faktor risiko utama anak yang terlibat dalam pertanian tembakau adalah GTS atau Green Tobacco Sickness. GTS adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh keracunan nikotin saat melakukan panen dan pengolahan daun tembakau.
“Seperti gatal-gatal. Namun karena sudah terbiasa, mereka menjadi tidak menyadari bahwa penyakit tersebut juga mempengaruhi kesehatan yang lain,” jelasnya.
Pernyataan ini disampaikan Eri dalam acara “Gebyar Semarak Literasi Menuju Indonesia Terbebas dari Pekerja Anak (Gesit 2024)” dalam rangka memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak dan Hari Anak 2024. Agenda ini berlangsung di Dira Park Ambulu, Minggu (14/7/2024).
Hingga saat ini, Eri menambahkan, Stapa telah memberikan pendampingan kepada anak-anak untuk mencegah keterlibatan mereka dalam pertanian tembakau. Terdapat beberapa desa di beberapa kecamatan di wilayah Jember utara yang menjadi sasaran pendampingan.
“Kami menyelenggarakan program daftar sekolah dan di luar pertanian. Kami mengajak anak-anak untuk menggunakan waktu luang di luar jam sekolah untuk beraktivitas bersama. Seperti bermain tradisional, mengasah kreativitas dengan mewarnai dan masih banyak lagi,” kata Eri.
Di tempat yang sama, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember, Poerwahjoedi mengakui bahwa mengurangi keterlibatan anak dalam pertanian tembakau bukanlah perkara mudah. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama. Tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.
Ia menyatakan bahwa diperlukan kerja kolaboratif yang melibatkan kelompok masyarakat, swasta, perguruan tinggi, dan media atau pentahelix. Seperti dalam kegiatan Gesit 2024 hari ini. Perusahaan swasta mendanai kelompok masyarakat untuk melakukan kampanye pencegahan keterlibatan anak dalam pertanian tembakau.
“Dan langkah selanjutnya adalah memberikan kesadaran kepada orang tua. Karena keluarga memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak anak, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Jember, Suprihandoko menyatakan bahwa saat ini tidak ada pekerja anak. Yang ada hanyalah anak-anak yang belajar bekerja dengan membantu orang tua mereka.
Menurutnya, diperlukan pemisahan yang jelas antara pekerja anak dan anak yang membantu orang tua. Karena maknanya berbeda. Pekerja anak adalah anak yang bekerja dalam suatu usaha atau tempat tertentu dengan perjanjian yang jelas dan menerima upah. Sementara anak yang membantu orang tua, umumnya dilakukan tanpa paksaan dan imbalan.
“Jika ada laporan resmi dari perusahaan yang mengatakan sebaliknya kepada kami, itu tidak benar. Karena tindakan tersebut dapat dihukum pidana. Dan pengusaha juga mengetahuinya,” jelasnya. (*)
» Baca berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Magang |
Editor | : Mahrus Sholih |