Sebuah kasus viral yang menimpa Yai Mim, seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan seorang mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang bernama Sahara, mendapat perhatian dari praktisi hukum Kabupaten Jember, Imam Haironi, S.H., M.H., C.Med. Imam Haironi menyampaikan kekagumannya terhadap Yai Mim, seorang sosok yang baik dan terbuka, terutama dalam praktiknya salat berjemaah di masjid. Yai Mim dikenal karena kebiasaannya yang menginspirasi, seperti merapikan sandal para jemaah sebelum salat sebagai wujud kepeduliannya terhadap orang lain.
Namun, ketika nama Yai Mim viral dan berita pengusiran terhadapnya menyebar, Imam Haironi merasa heran. Meskipun beberapa advokat dari Peradi mengajukan diri menjadi kuasa hukum secara gratis, Yai Mim sudah memiliki penanganan dari pihak lain di Malang. Imam Haironi menilai surat pernyataan pengusiran yang dikeluarkan oleh warga dan ketua RT sebagai langkah yang tidak memiliki landasan hukum formal, terlebih Yai Mim tinggal di tanah miliknya sendiri.
Dalam kasus ini, Imam Haironi menegaskan bahwa Yai Mim tidak wajib meninggalkan rumahnya karena memiliki hak untuk bertempat tinggal yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Meski demikian, Imam Haironi tetap optimis bahwa persoalan ini dapat diselesaikan secara damai melalui Restorative Justice, yang menekankan pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Dengan demikian, Imam Haironi berharap agar penyelesaian masalah ini dapat mencapai hasil yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.












